Oleh: Nana Sudiana | 19 Januari 2008

Demokrasi Dalam Pandangan Islam

Umat Islam seringkali kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama, demokrasi bagi sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum diterima secara bulat. Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa reserve, sementara yang lain, justeru bersikap ekstrem. Menolak bahkan mengharamkannya sama sekali. Tak sedikit sebenarnya yang tidak bersikap sebagaimana keduanya. Artinya, banyak yang tidak mau bersikap apapun.Kondisi ini dipicu dengan banyak dari kalangan umat Islam sendiri yang kurang memahami bagaimana Islam memandang demokrasi.  Di bawah ini, ada tulisan menarik tentang demokrasi dalam perspektif Islam. Tulisan ini sendiri berasal dari http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/7/cn/19725

 

APAKAH SISTEM DEMOKRASI HARAM?

Pertanyaan:

Apaka Demokrasi haram?
Apakah dizaman rosululloh ada sistem demokrasi?

IWAn Jawaban:Assalamu alaikum wr.wb.
Saudara Iwan yang dirahmati Allah. Demokrasi adalah sebuah tema yang banyak dibahas oleh para ulama dan intelektual Islam. Untuk menjawab dan memosisikan demokrasi secara tepat kita harus terlebih dahulu mengetahui prinsip demokrasi berikut pandangan para ulama tentangnya.

Prinsip Demokrasi
Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di antaranya:
• Kebebasan berbicara setiap warga negara.
• Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti.
• Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas
• Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat.
• Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
• Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).
• Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.
Pandangan Ulama tentang Demokrasi
Al-Maududi
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.Mohammad Iqbal
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual

Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:
– Tauhid sebagai landasan asasi.
– Kepatuhan pada hukum.
– Toleransi sesama warga.
– Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
– Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.
Muhammad Imarah
Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-A’râf: 54).
Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.

Yusuf al-Qardhawi
Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya:
– Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
– Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
– Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
– Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
– Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.

Salim Ali al-Bahnasawi
Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam.
Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
– menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
– Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
– Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
– Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam.
Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi.
Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga

Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan:
– Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
– Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.
Wallahu a’lam bi al-shawab
Wassalamu alaikum wr.wb


Tanggapan

  1. terima kasih banyak pak
    saya dapat pencerahan nih mengenai demokrasi dalam Islam
    moga 2 berkah dan saya dapat lulus ujian Fikh politik nih

    tx
    Agung W
    Al Hikmah, Bangka

  2. kenapa mesti mengambil demokrasi, sedangkan islam sendiri punya aturan sendiri, sudah sangat jelas demokrasi itu haram…….. mari ditelaah lagi, prinsip demokrasi itu kebebasan, sedangkan kebebasan dalam islam itu tidak ada karena semua terikat pada aturan allah………..

  3. alhamdulillah terjawab semua keraguan…
    manusia di beri akal untuk memilih mana yg baik dan mana yg buruk.slama tindakan yg diambil tidak menyalahi aturan Allah,bahkan menuju ke arah kebaikan,mnurut saya patut untuk tetap di laksanakan…

    wallahu’alam

  4. Semoga semua yang ingin bergerak untuk memulai perubahan dari dalm sisitem dan laur sisitem ada keterpaduan

  5. DSK = Demokrasi Sistem Kufur
    Kita sebagai muslim yang beriman hendaknya sami’na wa atha’na pada perintah Allah dan RasulNya bahwa kita tidak boleh berhukum pada hukum selain Allah SWT . QS.3:85 , QS.4:60,65, QS.5:44,47,48,50 QS.Al-Hasyr:7 !Demokrasi Haram untuk: Diambil, Diterapkan,DiDakwahkan!

  6. Tidak Ada Demokrasi Islam

    Banyak orang apalagi masyarakat awam, beranggapan bahwa
    agama islam adalah agama demokrasi. Dan Islam mengajarkan
    kepada umatnya agar bermasyarakat dan bernegara dengan
    asas demokrasi Islam, dengan alasan Islam mengajarkan
    syura/permusyawaratan.

    Anggapan ini adalah anggapan yang amat salah dan tidak
    berdasar, sebab antara kedua istilah ini terdapat perbedaan
    yang amat mendasar, yang menjadikan keduanya bak timur dan
    barat, air dan api, langit dan bumi. Berikut saya sebutkan
    beberapa prinsip utama syura, yang merupakan pembeda dari
    demokrasi. Semoga dengan mengetahui beberapa perbedaan
    antara keduanya ini, kita dapat meluruskan kesalah pahaman
    yang telah mendarah daging di tubuh banyak dan sanubari
    banyak umat islam.

    Prinsip Syura Pertama: Musyawarah hanyalah
    disyariatkan dalam permasalahan yang tidak ada dalilnya.

    Sebagaimana telah jelas bagi setiap muslim bahwa tujuan
    musyawarah ialah untuk mencapai kebenaran, bukan hanya
    sekedar untuk membuktikan banyak atau sedikitnya pendukung
    suatu pendapat atau gagasan. Hal ini berdasarkan firman Allah
    Ta’ala:

    “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
    bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya
    telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
    pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang
    mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah
    tersesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)

    “Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan: Dahulu
    Abu Bakar (As Shiddiq) bila datang kepadanya suatu
    permasalahan (persengketaan), maka pertama yang ia lakukan
    ialah membaca Al Qur’an, bila ia mendapatkan padanya ayat
    yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia
    akan memutuskan berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak
    mendapatkannya di Al Qur’an, akan tetapi ia mengetahui sunnah
    (hadits) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka ia akan
    memutuskannya berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak
    mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada
    kaum muslimin, dan berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya
    telah datang kepadaku permasalahan demikian dan demikian,
    apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
    wa Salam pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan
    suatu keputusan’? Kadang kala ada beberapa sahabat yang
    semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah) dari
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, sehingga Abu bakar
    berkata: ’Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara
    kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah Nabi kita
    Shallallahu ‘alaihi wa Salam.’ Akan tetapi bila ia tidak
    mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
    wa Salam, maka ia mengumpulkan para pemuka dan orangorang
    yang berilmu dari masyarakat, lalu ia bermusyawarah
    dengan mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat,
    maka ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula yang
    dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatthab sepeninggal beliau.”
    (Riwayat Ad Darimi dan Al Baihaqi, dan Al Hafiz Ibnu Hajar
    menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih)

    Dari kisah ini nyatalah bagi kita bahwa musyawarah hanyalah
    disyari’atkan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada
    satupun dalil tentangnya, baik dari Al Qur’an atau As Sunnah.
    Adapun bila permasalahan tersebut telah diputuskan dalam Al
    Qur’an atau hadits shahih, maka tidak ada alasan untuk
    bermusyawarah, karena kebenaran telah jelas dan nyata, yaitu
    hukum yang dikandung dalam ayat atau hadits tersebut.
    Adapun sistim demokrasi senantiasa membenarkan pembahasan
    bahkan penetapan undang-undang yang nyata-nyata
    menentang dalil, sebagaimana yang diketahui oleh setiap orang,
    bahkan sampaipun masalah pornografi, rumah perjudian,
    komplek prostitusi, pemilihan orang non muslim sebagai
    pemimpin dll.

    Prinsip Syura Kedua: Kebenaran tidak di ukur dengan
    jumlah yang menyuarakannya.

    Oleh karena itu walaupun suatu pendapat didukung oleh
    kebanyakan anggota musyawarah, akan tetapi bila terbukti
    bahwa mereka menyelisihi dalil, maka pendapat mereka tidak
    boleh diamalkan. Dan walaupun suatu pendapat hanya didukung
    atau disampaikan oleh satu orang, akan tetapi terbukti bahwa
    pendapat itu selaras dengan dalil, maka pendapat itulah yang
    harus di amalkan.

    “Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengisahkan:
    Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meninggal dunia,
    dan Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah, kemudian sebagian
    orang kabilah arab kufur (murtad dari Islam), Umar bin Khattab
    berkata kepada Abu Bakar: ‘Bagaimana engkau memerangi
    mereka, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah
    bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh
    manusia hingga mereka mengikrarkan la ilaha illallahu, maka
    barang siapa yang telah mengikrarkan: la ilaha illallah, berarti ia
    telah terlindung dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan hakhaknya
    (hak-hak yang berkenaan dengan harta dan jiwa),
    sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya terserah
    kepada Allah.”’ Abu Bakar-pun menjawab: ‘Sungguh demi Allah
    aku akan perangi siapa saja yang membedakan antara shalat
    dan zakat, karena zakat adalah termasuk hak yang berkenaan
    dengan harta. Sungguh demi Allah seandainya mereka enggan
    membayarkan kepadaku seekor anak kambing yang dahulu
    mereka biasa menunaikannya kepada Rasulullah Shallallahu
    ‘alaihi wa Salam, niscaya akan aku perangi karenanya.’ Maka
    selang beberapa saat Umar bin Khatthab berkata: ‘Sungguh
    demi Allah tidak berapa lama akhirnya aku sadar bahwa Allah
    Azza wa Jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk
    memerangi mereka, sehingga akupun tahu bahwa itulah
    pendapat yang benar.’” (Muttafaqun ‘alaih)

    Begitu juga halnya yang terjadi ketika Abu Bakar radhiyallahu
    ‘anhu tetap mempertahankan pengiriman pasukan di bawah
    kepemimpinan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang
    sebelumnya telah direncanakan oleh Rasulullah Shallallahu
    ‘alaihi wa Salam sebelum beliau wafat. Kebanyakan shahabat
    merasa keberatan dengan keputusan Abu Bakar ini, melihat
    kebanyakan kabilah Arab telah murtad dari Islam.

    Abu Bakar berkata kepada seluruh sahabat yang menentang
    keputusan beliau:

    “Sungguh demi Allah, aku tidak akan membatalkan keputusan
    yang telah diputuskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
    Salam, walaupun burung menyambar kita, binatang buas
    mengepung kota Madinah, dan walaupun anjing-anjing telah
    menggigiti kaki-kaki Ummahat Al Muslimin (istri-istri
    NabiShallallahu ‘alaihi wa Salam), aku tetap akan meneruskan
    pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah, dan aku
    akan perintahkan sebagian pasukan untuk berjaga-jaga di
    sekitar kota Madinah.” [Sebagaimana dikisahkan dalam kitabkitab
    sirah dan tarikh Islam, misalnya dalam kitab Al Bidayah
    wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir 6/308].

    Imam As Syafi’i berkata: “Sesungguhnya seorang hakim
    diperintahkan untuk bermusyawarah karena orang-orang yang
    ia ajak bermusyawarah mungkin saja mengingatkannya suatu
    dalil yang terlupakan olehnya, atau yang tidak ia ketahui, bukan
    untuk bertaqlid kepada mereka dalam segala yang mereka
    katakan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak pernah
    mengizinkan untuk bertaqlid kepada seseorang selain (taklid kepada) Nabi
    Shallallahu ‘alaihi wa Salam.” [Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al
    Asqalani, 13/342]

    Penjelasan Imam As Syafi’i ini merupakan penerapan nyata dari
    firman Allah Ta’ala:

    “Dan apa yang kalian perselisihkan tentang sesuatu maka
    hukumnya kepada Allah.” (QS. Asy-Syura: 10)

    Ayat-ayat yang mulia ini dan kandungannya, semuanya
    menunjukkan akan kewajiban mengembalikan hal yang
    diperselisihkan diantara manusia kepada Allah ‘Azza wa Jalla,
    dan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yang
    demikian itu dengan mengembalikan kepada hukum Allah ‘Azza
    wa Jalla, serta menjauhi setiap hal yang menyelisihinya.
    Dengan memahami prinsip ini kita dapat membedakan antara
    musyawarah yang diajarkan dalam Islam dengan demokrasi,
    sebab demokrasi akan senantiasa mengikuti suara terbanyak,
    walaupun menyelisihi dalil. Adapun dalam musyawarah,
    kebenaran senantiasa didahulukan, walau yang
    menyuarakannya hanya satu orang. Dengan demikian jelaslah
    bagi kita bahwa Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi,
    dan Islam bukan agama demokrasi.

    Prinsip Syura Ketiga: Yang berhak menjadi anggota Majlis Syura’ ialah para pemuka masyarakat, ulama’ dan pakar di setiap bidang keilmuan.

    Karena musyawarah bertujuan mencari kebenaran, maka yang
    berhak untuk menjadi anggota majlis syura ialah orang-orang
    yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, dan
    mereka ditunjuk oleh khalifah. Merekalah yang memahami
    setiap permasalahan beserta solusinya dalam bidangnya
    masing-masing.

    Beda halnya dengan demokrasi, anggotanya dipilih oleh rakyat,
    merekalah yang mencalonkan para perwakilan mereka. Setiap
    anggota masyarakat, siapapun dia –tidak ada bedanya antara
    peminum khamer, pezina, dukun, perampok, orang kafir dengan
    orang muslim yang bertaqwa-, orang waras dan orang gendeng
    atau bahkan gurunya orang gendeng memiliki hak yang sama
    untuk dicalonkan dan mencalonkan. Oleh karena itu tidak heran
    bila di negara demokrasi, para pelacur, pemabuk, waria dan
    yang serupa menjadi anggota parlemen, atau berdemonstrasi
    menuntut kebebasan dalam menjalankan praktek
    kemaksiatannya.

    Bila ada yang berkata: Ini kan hanya sebatas istilah, dan yang
    dimaksud oleh ulama’ atau tokoh masyarakat dari ucapan
    demokrasi islam ialah sistem syura’, bukan sitem demokrasi ala
    orang-orang kafir, sehingga ini hanya sebatas penamaan.
    Jawaban dari sanggahan ini ialah:

    Pertama: Istilah ini adalah istilah yang muhdats (hasil rekayasa
    manusia) maka tidak layak dan tidak dibenarkan menggunakan
    istilah-istilah yang semacam ini dalam agama Islam yang telah
    sempurna dan telah memiliki istilah tersendiri yang bagus serta
    selamat dari makna yang batil.

    Kedua: Penggunaan istilah ini merupakan praktek menyerupai
    (tasyabbuh) dengan orang-orang kafir, dan Islam telah
    mengharamkan atas umatnya perbuatan nmenyerupai orangorang
    kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri khas mereka.
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

    “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong
    dari mereka.” (Abu Dawud dll)

    Dalam sistem demokrasi yang meyakini, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, maka rakyat akan memilih pemimpin sesuai dengan seleranya. Jika rakyat suka berjudi, maka mereka akan memilih pemimpin yang mendukung hobi mereka. Jika rakyat suka dangdut, maka ia akan memilih partai yang mendukung dangdut. Jika rakyat hobi pengajian, maka mereka akan memilih partai yang menggalakkan pengajian. Karena ingin meraih suara rakyat itulah, ada partai yang mempunyai program seperti “tong sampah”. Apa saja diadakan, yang penting dapat dukungan.

    Wahai kaum Muslim,
    Slogan demokratisasi ternyata mengandung muatan kepentingan negara besar pengemban ideologi kufur sekulerisme kapitalisme. Banyak sekali slogan dan wajah manis yang disajikan di hadapan kita. Sekilas nampak baik, tapi sebenarnya hanyalah tipuan belaka. Karenanya, waspadalah dalam mensikapi berbagai slogan dan propaganda serta aktivitas kaum imperialis di dunia Islam. Allah SWT mengingatkan kita dalam firman-Nya:

    Telah nampak kebencian dari mulut-mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dada mereka lebih besar (TQS. Ali Imran[3]:118).

    dikutip dari:
    EBOOK “MELURUSKAN KERANCUAN SEPUTAR ISTILAH-ISTILAH SYARIAT”
    Penulis:
    Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA
    (Mahasiswa S-3 Universitas Islam Madinah)
    Sumber :
    http://muslim.or.id
    Disebarkan dalam bentuk Ebook di
    Maktabah Abu Salma al-Atsari
    http://dear.to/abusalma
    http://www.abusalma.wordpress.com

    BAGI YANG PENGEN MASALAH KUPAS TUTANTAS MASALH DEMOKRASI SAYA PUNYA FILE LAINNYA. SILAHKAN KIRIM EMAIL KE (andikemail@ie.its.ac.id)

  7. treima kasih atas tulisannya mas

  8. asslm…
    syokron teh…penjelasannya…

    saya copy yaaa…

  9. Ya Allah, ampuni saudara2ku yang ikut kecimpung dalam sistem non-Qur’an yakni DEMOKRASI, Bantulah mereka untuk hijrah KEMBALI kepada Dinul Islam.
    Yang ikut Demokrasi berarti ikut kerjasama bersama orang kafir, coba Ustadz kaji lagi di Qur’an..
    Demokrasi buatan manusia coy, Allah seakan-akan dipermainkan bahwa sitem-Nya dicampur aduk dengan sistem buatan manusia…

    • Sebenarnya saya mencari jawabban ini. karena waktu itu saya bertemu dengan Seseorang yang menyebut dirinya sebagai teroris dia berkata kepada saya “Saya teroris musuh negara, saya hidup di dunia ini seorang diri dan saya tidak kenal apa itu yang dinamakan dengan musyawarah, (Kekuasa’an tertinggi dari manusia, untuk manusia dan kembali kepada manusia) jika kata manusia itu diubah menjadi “Allah” apakah yang terjadi? dia berkata “semua orang telah menjadi da’jal karena hampir semua orang menggunakan musyawarah cipta’an orang yahudi’ saat ini orang yang hudi sedang membodohkan umat islam dan mencari cara agar musyawarah tidak akan hilang dari muka bumi. karena pada saat seseorang tidak mengenal lagi MUSYAWARAH maka disaat itulah, raja Yahudi akan muncul yaitu Da’jal” apa kah perkata’an itu benar? sebenarnya masih banyak yang dia katakan kepada saya.

  10. terima kasih, artikel ini byk membantu tugas saya, u/ mk agama dan demokrasi.

  11. Ya Robb …. Ampunilah saudara kami yang berusaha membela demokrasi, yang jelas lebih banyak penyimpang didalamnya. demokrasi adalah sistem kafir yang dibawa amerika untuk mengubah dan menghancurkan ummat islam idonesia.

    Mereka berdalaih,”Kalau semua yang menjabat diparlemen adalah mayoritas non muslim maka yang menjadi korban adalah ummat islam.” padahal itu belum tentu. justru akan lebih mudah menghancurkan mereka karena sudah jelas yang duduk disana adalah orang non muslim. Namun yang sangat menyulitkan adalah saudara kita yang duduk disana. sehingga kita kesulitan untuk memerangi mereka.

  12. ungkapan demokrasi sejalan dengan islam sama aja menganggap Islam gak sempurna sehingga membutuhkan sistem lain diluar Islam utk menegakkannya…parah!!!

  13. bukankah islam mengenal siystem syuro,bukan demokrasi

  14. Kl kagak setuju dgn demokrasi, jgn sekolah di sekolah hasil demokrasi, kuliah di universitas hasil demokrasi, jgn ambil bea siswa hasil dari institusi pemerintah yg notabene pendukung demokrasi. Tuh pindahlah ke aceh or arab, disana khan menerapkan syariat islam

  15. syukran akhi….
    ana jadi dapat pencerahan nih masalah demokrasi dalam pandangan islam bagaimana sich sebenarnya….
    barusan aja tadi ana ba’da jum’at ada diundang dari harokah “HTI” masalah pandangan islam tentang demokrasi.

  16. pantek kau pannnntek

  17. GOLPUT IS THE BEST

    Mengapa harus golput?

    1. Tidak boleh semajelis dengan kaum kuffar (QS 4:140)

    2. Tidak boleh bermusyawarah dengan yang tidak seidiologi islam (QS 42;38, 3;159)

    3. Tidak boleh mengikuti / memilih kepemimpinan yang kufur (QS 5:55, 5:50, 9:23, 60:1)

    4. Harus mencontoh rasulullah (QS 33:21), sementara rasulullah tidak mencontohkan masuk berparlemen dalam darun nadwah Quraisy

    5. Harus berbarao’ah (berlepas diri) dari sistem kuffur (60:4)

    6. Tidak boleh Ta’awun dalam ismun dan udwan

    7. Tidak boleh tasyabbuh pada kaum kuffar

  18. 1. Kita terima demokrasi karena ndhorurot, seperti kalau makan adanya singkong doang ya sudah, dimakan. Adanya babi, nggak ada lainnya , ya sudah , halal. Tugas cerdik pandai menerangkan masalah ini kepada umat, agar umat jadi pintar semua. Nanti kalau sudah tiba saatnya atas izin Allah, Insyaallah Islam memimpin Indonesia, bahkan dunia. Amin.
    2. Sebaiknya jangan buru2 main keras, nanti menimbulkan antipati. Kenapa sebagian besar masyarakat Indonesia yang notabene Islam, memilih partai non Islam ? Karena mereka takut dipimpin orang2 yang main keras ( salah persepsi masyarakat thd Islam / orang Islam )
    3. Memang sulit jadi orang Islam yang bener, ini ujian dai Allah buat kita semua sebenarnya, bagaimana kita membawa diri ditengah kemajemukan .
    Ini dulu ah !!!

  19. Demokrasi pada era sekarang adalah anak tunggal peradaban

  20. Demokrasi sistem iblis yang memporak porandakan

    Ilmu politik demokrasi mengenal semacam black hole dalam tata politik, populer disebut the dark-side of democracy (sisi gelap demokrasi). Melalui proses yang demokratis, akan terjadi transformasi kedaulatan menjadi kewenangan. Karena merupakan turunan kedaulatan, maka ruang lingkup pemegang kewenangan terbatas.
    Namun, karena posisinya di pucuk piramida kekuasaan, pemegang kewenangan leluasa menentukan corak kepolitikan satu negara. Transformasi sifat populis menjadi elitis dalam ajaran demokrasi terjadi di sini. Hukum besi munculnya oligarki dalam politik seperti diutarakan Robert Michels tak terhindari. Sekali oligarki terbentuk, semangat untuk mengeksploitasi dan mempertahankan kekuasaan terjadi. Disinilah terwujudnya anarkhisme, yang sebenarnya merupakan buah dari demokrasi. Bagi sebagian besar kaum anarkis, pemungutan suara untuk memutusan kebijakan pada demokrasi langsung dalam perkumpulan bebas adalah secara politis sejalan dengan kesepakatan bebas. Alasannya, bahwa “banyak bentuk dominasi dapat dilaksanakan dalam tingkah laku yang berdasarkan perjanjian, non-koersif dan bebas…dan adalah naif…berfikir bahwa oposisi belaka terhadap kontrol politis akan membawa dengan sendirinya menuju akhir penindasan.” (John P. Clark, Marx Stirner’s Egoism, hal. 93)Jelas bahwa individu harus bekerja sama untuk menuju kehidupan yang lebih manusiawi. Jadi, “(d)engan bergabung bersama manusia lainnya…(individu memiliki tiga pilihan) ia harus tunduk pada kehendak lainnya (diperbudak) atau dipatuhi lainnya (berkuasa) atau tinggal bersama dalam kesepakatan persaudaraan demi kepentingan bersama (berkumpul). Tak ada seorangpun yang dapat lari dari kebutuhannya.” (Errico Malatesta, The Anarchist Revolution, hal. 85)
    Wujud nyata semangat ini adalah berani mengambil kebijakan tidak populis pada periode awal jabatan, lalu kembali ke kebijakan populis pada akhir masa jabatan. Dengan cara ini pemilih diharapkan ingat kebijakan populis yang berpihak kepada rakyat di akhir jabatan, dibanding mengingat kebijakan tidak berpihak kepada rakyat pada awal jabatan (Alvarez and Glasgow, Do Voters Learn from Presidential Election?, 1997). Disinilah akhirnya pasti sekaligus akan terjadi teori dan praktek pembodohan terhadap rakyat yang terpaksa dilakukan sistem demokrasi.
    Dari sketsa idiatas tersebut tampak, elite amat berkepentingan memelihara memori pendek rakyatnya. Apalagi dalam masyarakat Indonesia yang permisif, mudah memaafkan. Melalui permainan isu dan pengendalian informasi, rakyat bisa dibuat bingung bahkan frustrasi oleh elite yang mereka pilih. Dan dengan kebingungan inilah elit politik semakin memperpanjang daftar pendidikian pembodohan terhadap rakyatnya, demokrasi memang pada kenyataannya lebih banyak untuk cenderung membunuh kecerdasan rakyat.
    Socrates, seperti diceritakan muridnya, Plato (427-347 SM), dalam karyanya The Republic, memandang demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang tidak ideal; lebih rendah nilainya dibandingkan aristokrasi (negara dipimpin para pecinta hikmah/kebenaran), ‘timokrasi’ (negara dipimpin para ksatria pecinta kehormatan), dan oligarchi (negara dipimpin oleh sedikit orang). Di negara demokrasi (pemerintahan oleh rakyat – the rule of the people), kata Socrates, semua orang ingin berbuat menurut kehendaknya sendiri, yang akhirnya menghancurkan negara mereka sendiri. Kebebasan menjadi sempurna. Ketika rakyat lelah dengan kebebasan tanpa aturan, maka mereka akan mengangkat seorang tiran untuk memulihkan aturan.
    Tak dapat dipungkiri bahwa yesus mati karena faham demokrasi, ketika ada dua opsi untuk membebaskan yesus atau barabas,maka berdasarkan suara terbanyak (bukan berdasarkan kebenaran) sebagian besar orang yahudi itu menginginkan yesus dihukum dan barabas dibebaskan renungkan nash berikut ini:

    Lalu Pilatus berkata kepada mereka: “ Tetapi kejahatan apa yang telah dilakukanNya? Namun mereka berteriak makin keras : “salibkanlah Dia “ dan oleh karena pilatus ingin memuaskan hati orang banyak itu, kama ia membebaskan barabas bagi mereka, tetapi Yesus disesahnya lalu diserahkannya untuk disalibkan” (matius 15:13-15)

    …….demokrasi tumbuh dengan darah para Nabi yang mengalir, sebab mereka harus dihukum berdasarkan tuduhan masyarakat luas bahwa para Nabi itu adalah penyesat yang harus dibinasakan….Sesungguhnya demokrasi adalah system yang pengkudetaan terhadap kekuasaan ALLAAH & Penghancur pancasila yang notabebene sebagai weltanschauung atau bahan baku ideologi.sila yang mana pada tiap tiap sila terkandung grundnorm (norma dasar sebagai pesuposisi kehadiran sutau prinsip) sebagaimana pembukan uud 1945 adalah merupkaan grundnorm, dan batang tubuh merupakan statsfundamentalnorm. ketuhanan YANG MAHA ESA,tuhan yang dimaksud adalah ALLAAH YANG MAHA PENGASIH sesuai yang termaktub dalam pembukan uud 1945. disila kesatu ini adalah hukum asal bahwa di Indonesia diharamkan tumbuhnya penyembahan kepada berhala,atau tuhan yang lebih dari satu,Sila pertama merupakan wujud bagi wajibnya rakyat Indonesia menerapkan Hukum ALLAAH sebagai bukti penghambaan kepadaNYA, bagi umat Islam sendiri wajib berhukum dengan hukum ALLAAH, nash Quran menjelaskan siapa yang tidak berhukum dengan Hukum ALLAAH & RasulNYAadalah kafir (QS 5:44-47,50) lihat juga QS 47:33 , berkalam ALLAAH :
    “Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” (QS. Yusuf: 40)
    “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.” (QS Al Maidah: 49)

    kepatuhan kepada Hukum ALLAAH & petunjuk Rasul dijelaskan dalam sabdanya sbb:

    Kutinggalkan kepadamu 2 perkara bila kamu berpegangan dengan keduanya kamu tidak pernah tersesat selamanya , KitabuLLAH dan Sunnah RasulNYA (Sunan Tirmidzi Kitabul Manasik:56, Ibnu Majah:84, Imam Malik Kitab Qadhar:3,dengan sanad Amru bin Auf-AbduLLAAH bin Amr-Katsir bin AbduLLAH, Katsir perawi matruk menurut Ahmad,tapi hadits ini shahih secara matan,yang diperkuat pula dengan hadits berikut) :

    “siapa membenci SunnahKu maka dia bukan dari golonganku (Musnad Ahmad 4,dengan sanad Mujahid-Manshur-Jarir-Yahya) : “ilmu itu hanya ada 3 : KitabuLLAH yang berbicara Sunnah yang telah lalu, dan ucapan Aku tidak tahu ( dinukil dalam al I’lam nya Ibnu Qayyim, al Faqih nya Al Khatib al Baghdadi dengan sanad Ibnu Umar-Nafi-Malik),

    dan inilah sebenar-benarnya statsfundamentalnorm (norma fondasi perundang undangan), sebagian besar ahli murjiah menyatakan bahwa kekafiran itu bukan kekafiran yg sebenarnya berdasarkan atsar ibnu Abbas RA, tapi itu pernyataan yang tidak dilandaskan pada keilmuan yang benar, satu hal yang perlu dicatat karena apa yang datang dari itu hanyalah atsar shahabat, dan atsar tidak dapat mengalahkan Quran dan As Sunnah Ash Shahihah, apalagi ada kritik tentang Hisyam bin Hujair sebagai perawi, berkata ahli hadits Dia tsiqah. Dan diringkas oleh Al-Hafidz dengan ucapan beliau : Dia shaduq dan memiliki beberapa kekeliruan. Yahya Al-Qaththan mendhaifkannya, demikian pula Imam Ahmad dari Ibnu Ma’in dalam sebuah riwayat, mka hadits yang yang ada padanya kritik walau selemah apapun tidak dapat dijadikan hujjah untuk membantah penjelasan tentang akidah yang telah sharih dan bahkan lebih sharih. dengan penerapan Hukum ALLAAH maka akan dicapai keadilan karena hanya ALLAAH yang MAHA ADIL (lihat mazmur 7:12), begitu juga sebagaimana ditetapkan didalam bible, begitu banyak perintah menjalankan Hukum ALLAAH,

    “percayalah kepada tuhan dengan segenap hatimu, jangan kamu bersandar pada pengertianmu sendiri ( amsal 3:5)
    “percuma mereka beribadah kepadaKU sebab yang mereka lakukan hanyalah perintah orang”(Matius 15:9),

    dengan nash berikut ini seharusnya merasa malu orang yang mengaku diri mereka agamis tapi tetap menggunakan produk hukum selain yang dari ALLAAH

    “berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri diatas jalan orang berdosa, yang tidak duduk didalam kumpulan pencemooh, yang kesukaannya adalah Taurat, dan merenungkan Taurat itu siang dan malam” ( Mazmur 1:1-2)

    Penerapan Hukum ALLAAH adalah implementasi dari keadilan tuk menuju peradaban mulia sebagaimana tersirat dalam sila ke 2. Persatuan Indonesia tidak dapat terwujud selama partai politik masih ada dinegeri ini,karena keberadaan partai2 tsb hanya memperparah persengketaan yang dibangun diatas sentimen belaka (primordialisme),dan ini bertolak belakang dari nilai pancasila sebagai alat pemersatu. ALLAAH hanya menciptakan Insan berbangsa bangsa bukan berpartai. maka rakyat haruslah dikuasai (bukan yang menguasai atau berdaulat sebagaimana yang diajarkan oleh faham demokrasi) oleh bapak bangsa yang berhikmat (bukan presiden) dengan mengoptimalkan kepala suku masing2 yang memiliki kepribadian yang bijaksana sebagai wakil rakyat (bukan dpr). sesuai dengan sila ke 4.dengan itu semua maka keadilan sosial bagi rakyat akan dapat terwujud.Pancasila bukan musuh Islam,tapi dengan pancasilalah kedigjayaan pemerintahan Islam semakin dapat terbentengi, pancasila sudah sempurna untuk dijiwai dalam konsep bermasyarakat yang strukturnya mengharuskan harmonisasi terhadap keberagaman (bhineka tunggal ika). disinilah akhirnya dapat kita tetapkan bahwa konsep seminim minimnya konsep Hukum yang tepat bagi Indonesia ini adalah berhukum sesuai dengan keyakinan masing2 semaksimal maksimalnya adalah penerapan Hukum Islam murni secara keseluruhan, yang paling penting diadakan pemidanaan terhadap pelanggaran keyakinan, contohnya umat Islam yg tidak shalat jumat dipenjara,orang nasrani yg tdk mingguan digereja dipenjara,org yahudi yg tdk kesinagog hari sabtu dipenjara juga.pengadilan agama berada diatas pengadilan negara. presiden bukanlah kepala pemerintahan tapi dia hanyalah kepala jongos alias pegawai administrasi (opsorsing perusahaan negara).trias politika digantikan dengan centralisasi kekuasaan yg dipegang oleh bapak bangsa.bapak bangsa adalah sekaligus pemimpin tertinggi militer dan kepolisian.kami mengajak siapapun utk berdialog berdasarkan disiplin ilmu pengetahuan yang benar.
    kontak person
    0813 832 832 34
    Muhammad Tamim Pardede alias abu Ghazi.
    Kunjungi situs kami,situsnya kaum Nasionalis Pancasilais yang tetap teguh dengan penerapan sistem pemerintahan dan kewajiban Hukum ALLAAH.
    http://www.tri-falaq-tunggallistik.com. Semoga ALLAAH melimpahkan RahmatNYA kepada para PejuangNYA.amin

  21. bgus mas tulisannya…

    mas, saya copy y….

  22. dari tadi AL ikhwah yang berbicara masalah Demokrasi sistem kufur dan sebagainya, terus menerus berbicara sistem. JElas kalau sistem demokrasi itu memang banyak kelemahan, saya pun sepakat kalau memang dalam waktu dekat Indonesia bisa menjadi negara pempelopor kekhalifahan di Indonesia. Cuma sekarang saya bertanya tentang siapa yng bertanggung jawab atas kondisi tidak ideal ini? Bagaimana cara yang tepat untuk mencapai khilafah? Kalau hanya propaganda di luar dengan teriak2, apa bisa merubah keaadaan?

    Oke, mungkin memang kita diminta yakin bahwa kelak kekhalifahan itu akan terjadi dengan cara propaganda seperti yang disebutkan tadi. Tapi selama ini posisi anda selalu di balik seberang dengan orang2 sekuler yang sekarang banyak di parlemen, dan tak pernah mencoba masuk menerobos ke sana. Satu-satunya cara ya harus masuk (bukan menyerang). Karena kita tidak akan pernah menang perang kalau cuma berseru-seru di seberang. Kalau menyerang (sperti yang disampaikan apabila orang-orang di parlemen semua kafir) maka justru saya yakin bukan orang kafir yang akan mendominasi, tapi justru mereka akan memanfaatkan orang muslim yang sebenarnya masih bisa kita luruskan pemahamamnnya. Nah, apakah kita tetap akan membumihanguskan mereka?

    Sekali lagi antum semua berbicara masalah sistem. Sistem yang memang sudah demikian kronis yang memang tidak kita inginkan. Tapi sistem ini sudah terlanjur mendarah daging. Satu-satunya cara memang merubahnya menjadi lebih syar’i. tapi bukan dengan teriak-teriak dari luar. Tapi pemegang sistem inilah yang kita rubah lebih dulu, yakni faktor manusianya. Karena mereka semua masih muslim… yang hanya perlu diluruskan pemahamannya secara perlahan dan dengan sentuhan hati. (Ibarat orang yang tenggelam dalam kolam lumpur yang dalam, ia tidak akan selamat kalau kita cuma teriak dari pinggir kolam, kita harus masuk juga ke kolam tersebut untuk menyelamatkannya).

  23. oooohhhhhh

  24. dedex, antum sperti sedang mencari ikan mujaer sehat ditengah-tengah kali ciliwung…
    sampe taun jebot juga gak bakal ketemu tu ikan.
    kalo situasinya kayak gitu, apa u tetep mau nyemplung??

  25. DEMOKRASI SISTEM KUFUR

    Sejak masa Plato demokrasi sudah digugat. Dengan berbagai alasan berbagai pihak mempertanyakan apakah sistem demokrasi ini layak bagi manusia atau justru akan menghancurkan peradaban. Kritik terhadap demokrasi pun paling gencar dilakukan pemikir dan ulama muslim. Umat Islamlah yang paling terdepan mempertanyakan keabsahan sistem demokrasi ini.

    Gugatan paling mendasar terhadap sistem ini adalah masalah kedaulatan (as siyadah) yang berkaitan dengan sumber hukum . Ada perbedaan yang mendasar antara sistem Islam yang secara mutlak menjadikan kedaulatan di tangan hukum syara’ (as siyadah li asy-syar’i) dengan sistem demokrasi yang menetapkan kedaulatan ada di tangan rakyat (as siyadah li asy-sya’bi) .Dalam pandangan Islam satu-satunya yang menjadi sumber hukum (mashdarul hukmi) adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Tidak boleh yang lain. Dalam Al Qur’an dengan tegas disebutkan inil hukmu illa lillah (QS Al An’an; 57) bahwa hak membuat hukum adalah semata-mata milik Allah SWT. Karena itu barang siapa yang bertahkim (berhukum) dengan apa-apa yang selain diturunkan Allah SWT , maka dia adalah kafir (lihat QS Al Maidah: 44)

    Sementara dalam sistem demokrasi yang benar dan salah bukan ditentukan berdasarkan syariah Islam tapi berdasarkan hawa nafsu manusia atas nama suara mayoritas. Prinsip suara mayoritas (kedaulatan di tangan rakyat) ini adalah prinsip pokok dalam demokrasi. Tidak ada demokrasi kalau tidak mengakui prinsip kedaulatan ditangan rakyat ini.

    Menjadikan sumber hukum yang menentukan benar dan salah berdasarkan hawa nafsu atas nama suara mayoritas ini jelas adalah bentuk kekufuran yang nyata. Demokrasi sesunguhnya telah merampas Hak Mutlak Allah sebagai sumber hukum dan menyerahkannya kepada manusia. Jelas ini adalah kekufuran yang nyata.

    Inilah yang diingatkan Allah swt kepada kita di dalam Al Qur’an, tragedi yang menimpa orang-orang Nashrani, mereka menjadikan orang-orang terhormat mereka, orang-orang alim, para pendeta, pemuka agama sebagai Tuhan baru. Bagaimana mungkin para rahib dan pendeta itu dijadikan Tuhan ?

    Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa meriwayatkan ‘Adi bin Hatim pernah datang ke hadapan Rasulullah saw. Beliau kemudian membaca ayat (QS at-Taubah [9]: 31). ‘Adi bin Hatim berkata, “Mereka tidaklah menyembah para pembesar dan para pendeta mereka.” Akan tetapi, Rasulullah saw. berkata, “Benar. Akan tetapi, mereka (para pembesar dan para pendeta itu) mengharamkan atas mereka sesuatu yang halal dan menghalalkan yang haram untuk mereka, lalu mereka mengikuti para pembesar dan para pendeta itu. Itulah bukti penyembahan mereka kepada para pembesar dan para pendeta itu.” Demikian sebagaimana dituturkan oleh Muslim dan at-Turmudzi.

    Dengan demikian, pemberian hak menghalalkan dan mengharamkan (hak menentukan hukum) serta hak ketaatan kepada seseorang pada hakikatnya sama dengan penyembahan kepada orang itu. Jelas ini adalah kekufuran yang nyata. Demokrasi telah menjadi Tuhan Baru, ini adalah musibah..

    Tidak hanya itu demokrasi digugat karena gagal menunaikan janji-janjinya. Kesejahteraan yang dijanjikan demokrasi tidak terbukti. Dunia yang dipimpin oleh negara demokrasi terbesar Amerika Serikat sekarang ini terjerumus kedalam kemiskinan global yang mengerikan. Bahkan sang tuan Amerika Serikat terancam dalam depresi ekonomi yang mengerikan.

    Demokrasi justru telah memberikan legitimasi hukum untuk memiskinkan dunia ketiga. Lewat cara yang demokratis muncullah produk-produk hukum yang memuluskan penjajahan dan perampasan kekayaan alam dunia ketiga. Indonesia merupakan contoh tentang masalah ini. Pasca reformasi dengan cara demokratis lahir pro Liberal seperti UU Migas, UU Penanaman Modal , UU SDA (Sumber Daya Alam) yang semuanya justru mengokohkan ekploitasi negara-negara imprialism yang berimplikasi kepada penderitaan masyarakat.

    Janji stabilitas demokrasi pun tidak terbukti. Di beberapa negara demokrasi justru telah mengantar rezim diktator seperti Hitler di Jerman dan Mussolina di Italia. Demokrasi juga telah menjadi alat ampuh munculnya pemerintah boneka pro Barat seperti yang terjadi di Afghanistan dan Irak saat ini . Pemerintah boneka yang diktator ini justru menjadi alat Barat untuk mengokohkan penjajahan dan pembunuhan terhadap rakyat.

    Di Indonesia sorak-sorai demokrasi telah menimbulkan pertentangan antar elit maupun secara horizontal antar rakyat yang tidak berkesudahan. Pertikaian menjelang pilkada maupun pasca pilkada telah menumpahkan banyak darah dan luka. Tidak hanya itu atas nama demokrasi Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia. Kemungkinan kuat menyusul dengan alasan yang sama -kalau tidak dicegah sejak dini- adalah Aceh dan Papua. Demokrasi menjadi pintu disintegrasi.

    Atas nama demokrasi kemaksiatan pun menjadi subur. Prinsip demokrasi yang memutlakan pengakuan terhadap liberalisme dan HAM telah menjadi pintu kerusakan moral atas nama kebebasan. Atas nama HAM pelaku kejahatan perzinahan dan homoseksual dan pelaku pornografi dan pornoaksi minta diakui eksistensinya. Muncul pula UU yang sarat dengan liberalisme yang mengokohkan kemaksiatan ini.

    Tidaklah berlebihan kalau kita mengatakan ada dua bahaya mendasar demokrasi . Pertama, demokrasi telah menjadi ‘tuhan baru’ yang menjerumuskan umat Islam pada kekufuran . Yang kedua demokrasi telah menjadi alat penjajahan untuk menghancurkan umat Islam baik secara ekonomi , politik, maupun sosial.

    Tidak heran kalau Bush mengatakan selama menyebarnya liberalisme dan demokrasi adalah perkara penting bagi kepentingan (penjajahan ) negara itu. Pidato Bush : “ Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi”. Walhasil demokrasi adalah sistem kufur , haram mengambilnya, menerapkannya dan menyebarluaskannya.

    Islam mempunyai sistem sendiri. Konsep sudah ada dan sangat jelas hingga bisa diterapkan dalam sebuah negara. Dengan menerapkan islam secara kaffah melalui institusi khilafah. Mengapa malah mengambil demokrasi yang bersebrangan dengan islam? Walaupun ada manusia yang enggan islam diterapkan secara kaffah/keseluruhan, tetapi Khilafah adalah sebuah keniscayaan yang Allah janjikan. Wallahualam.

  26. Betul, tidak ada demokrasi dalam islam? Tunggu saja kemunduran peradaban kalau memang tidak ada.

  27. cari contohnya apa ya???
    buat tugas niiiih…..

  28. Assalamu’alaikum saudara2ku muslim..
    Sungguh luar biasa sekali pembahasan mengenai Demokrasi dalam pandangan Islam beserta dalil2 yg sudah saudara2ku sampaikan..
    Semoga Allah mencurahkan kebenaran pada hati kita semua…

    Namun ada hal ingin saya tanyakan,
    Kalau memang kita sudah melihat demokrasi yg diterapkan di Indonesia memiliki unsur2 yang bertentangan dengan syariat Islam..

    Lalu… langkah kedepanya setelah memahami pandangan Islam terhadap demokrasi bagaimana??
    Apakah kita perlu menggulingkan pemerintahan yg menggunakan sistem demokrasi kafir ini?
    Atau kita ikuti prosedur yg telah ada skrg dgn menjadikan Partai Islam sebagai mayoritas sehingga bisa memasukan syariat2 Islam dan memperbaiki sistem hukum nasional?
    Atau diam saja,, sebagai bentuk selemah2nya iman.. dan hanya berusaha menyebarkan pandangan Islam terhadap Demokrasi?

    Mohon pendapatnya beserta dalil kalau bisa…agar kita bisa menentukan sikap paling bijaksana sesuai syariat..
    Syukron 🙂


Tinggalkan Balasan ke butroa Batalkan balasan

Kategori